Tuesday, May 31, 2005

SEBUAH POLA, SEBUAH ALUR

Dunia terus berputar sejalan dengan pikiran yang bernalar.
Bersama dengan siklus yang kontiniu, pola pun berlaku.
Ketiadaan menciptakan keberadaan yang kosong.
Kekosongan menciptakan keberadaan yang tiada.

Ikan yang bernyanyi, gejala sebuah anomali.
Burung yang berlari, solusi alternatif untuk kaki.
Wanita dan pria yang menolak untuk bercinta,
Beralasan memilih makhluk sejenis yang bernyawa.

Semua telah terpola, bila terhanyut mengikuti sebuah alur.
Hidup untuk masa kini, atau masa depan, nyawa tetap lebur.
Semua terhitung, bila hasrat hidup tanpa gejolak.
Hidup untuk diam, atau memberontak, waktu tetap berjarak.

Tidak ada yang memaksamu bergegas, atau mejadi lugas.
Tidak ada yang memaksamu menyendiri, atau menjadi benci.
Semua hanya akal, dan logika, berseteru dengan hati yang berbicara.
Menandakan emosimu sedang berkarya.

Tidak ada yang memaksamu tertutup, atau mulut terkatup.
Tidak ada yang memaksamu terhenyak, atau pergi beranjak.
Semua telah terpola, dari gejolak sel-sel dalam tubuhmu,
Yang memilih, ataupun tidak, menciptakan dirimu sendiri.

Keberadaan tertindas oleh perubahan,
perubahan adalah kekal.
Takdir menjadi tuan yang mempola kehidupan.

Bila pun para ilmuwan mampu menghitung takdir,
dalam satuan bilangan hexadesimal.
Kasus itu takkan pernah berlaku untuk gejolak anomali.
Meski alur itu ada, keberadaan bisa kau ubah!

Takdir takkan menjadi tuan yang mempola kehidupan.
Bila kau memilih takdirmu sendiri.
Bukan pencarian, melainkan penciptaan.
Menjadi sebuah pola,
Menjadi sebuah alur,
Milikmu sendiri.



6 Februari 2005, 11.15 AM

UNTUK SEORANG KAWAN

Apa lagi yang dapat kukatakan sayang?

Kau merasa sebagai hama, berjejak langkah bernoda.
Kau menampik sang matahari, kemilaunya membuatmu iri.

Apa lagi yang dapat kukatakan sayang?

Kau bertahan untuk hidupmu, mengeluh tentang rupamu.
Kau terus membelokkan arah, menjauh dari kota bertuah.

Apa lagi yang ingin kau dengar sayang?

Kau menatap dengan sinis, dan duniamu tidak lebih dari garis.
Kau memaki segala luka, tubuhmu semakin tidak berdaya.

Apa lagi yang ingin kau dengar sayang?

Mungkin kau seorang diri, cari arti semua ini.
Berjuanglah sayang, dan tunggulah lagi.
Kelak kau akan mengerti.

Apa lagi yang dapat membantumu sayang?

Andai kau tahu, lingkaran tidak selalu berbentuk bulat.
Ada alasan yang kuat bagi sang ulat, untuk membentuk kepompong yang kuat.
Ada alasan bagi sang ulat yang hidup menunggu waktu.

Makhluk yang kau pandang sebagai hama itu tahu,
Sepasang sayap yang kelak tumbuh akan membawanya pada cakrawala yang baru.
Membawanya selangkah lebih dekat dengan langit biru.

Apakah kau tahu itu sayang? Apakah kau paham sayang?
Kuharap kau mengerti, kuharap kau pahami.
Hidupmu adalah anugrah,
yang patut kau nikmati.




30 Mei 2005, 11.55 AM

ANDAI

Andai aku dapat menelaah sel-sel di dalam tubuhku sendiri,
Pergerakan para sel anomali pun dapat kuhentikan sejak dini.
Tapi tidak, semua telah terlambat.
Mereka saling meracuni satu sama lain, membuatku cacat.

Andai aku membutakan semua sejak awal,
Seharusnya aku tidak perlu merasa kesal.
Namun kegilaanmu merombakku secara perlahan.
Membuat dirimu menjadi takdir yang membutakan.

Andai kukoyak diriku atas perilaku yang sungguh waras,
Tubuhku seharusnya mati rasa dengan saraf yang terlepas.
Keinginan bawah sadarkulah yang kini menyiksaku.
Hatiku mulai membujuk raga agar terus membeku.

Andai aku tahu semua ini akan terjadi,
Aku akan tetap bernaung di dalam pondok kecilku.
Menikmati hari-hari yang kusiasati,
Menjemukan hariku sembari menatap awan yang berlalu.

Andai semua ini tidak kusesali,
Aku akan tetap menjadi si kecil mungil.
Di dalam dunia yang terbatasi dengan tali,
Aku menikmati semua yang kerdil.

Andai aku menolak perubahan demi perubahan,
Aku akan mati sebagai bunga yang layu sebelum berkembang.
Tetapi tidak sepenuhnya aku menolak,
Karena tidak sepenuhnya pula aku bijak.

Di antara temaram yang menawan dan terang yang bergirang.
Pilihanku sorong, terjerumus di dalam jurang.
Karena memilih berarti berjalan,
Berjalan berarti masa depan,
Masa depan membayangiku dengan ketakutan.

Andai aku memiliki kekuatan yang lebih,
Sepertinya aku akan berjalan tanpa menoleh lagi.
Sepertinya aku akan membebaskan ego yang berdalih.
Sepertinya aku akan percaya bahwa selalu ada “sesuatu” yang menanti.

Andai kau tahu... kisahku hanyalah pengandaian.

Kisahku hanyalah gejala pikiran yang dirundung kerisauan.

Kisahku... dilema kehidupan.



(22-05-2005, 02.45 AM)

Thursday, May 12, 2005

ADAKAH JAWABAN

Berdetak jantungku mengikuti gelombang emosi.
Berdetak dan berirama bersama alunan hati.
Berdetak dan berdetak lagi.
Berpacu bersama di dalam urat nadi.

Seandainya, yah, seandainya.
Seandainya emosi bisa kugubah menjadi bunyi.
Akankah lebih mudah emosi itu kupahami?
Seandainya, yah, seandainya.
Seandainya hati selalu bergetar di dalam harmoni.
Akankah lebih mudah kuterima perasaan ini?

Arus waktu yang terbentang bukanlah jawaban.
Menalarkan semua pertanyaan adalah kematian.
Karena cerita ini adalah misteri.
Begitu juga yang seharusnya aku alami.

Seandainya,yah, seandainya.
Kubunuh logika dengan rasa, membuang realita.
Akankah kudapatkan esensi dari cinta?
Seandainya, yah, seandainya.
Kubunuh rasa dengan logika, menolak segala bentuk dunia maya.
Masihkah kudapatkan esensi dari cinta?

Arus waktu yang terbentang menjadi pertanyaaan.
Mempertanyakan semua penalaran adalah kehidupan.
Seandainya semua hanyalah misteri.
Tak perlu lagi kucari jawaban atas semua ini.
Tak perlu lagi kuyakinkan diri ini.

Menolakmu.
Atau menerimamu.
Apakah berarti hidup atau mati?
Apakah benar ataukah salah?
Adakah titik tolak pertanyaan dan solusi, sesuatu yang absolut?

Sepertinya hanya bisa kukira-kira saja,
Semua masih tetap sama.
Karena jawaban itu belum ada,
Karena jawaban itu masih maya.
Terbendung dan belum terungkap,
Karena pikiran bukan berarti realita.

Pertanyaan akan esensi cinta,
Juga bagaimana seharusnya cinta berlaku.
Akankah ada jawaban?



12 May 2005, 02.47 AM

MAAFKAN AKU

Sudah terlalu lama aku berdiam.
Sudah terlalu nyenyak aku berhening.
Sudah terlalu jauh aku menggelap.
Sudah terlalu banyak aku menghukum diri ini.

Cukup.
Kurasa cukup bagiku.

Berlakon sebagai pertapa untuk mencari surga?
Mengoyak raga untuk menebus dosa?
Namun apa yang kudapat?
Amarah di dalam hidupku, neraka bagi jiwaku

Kini, aku sadar dan mengerti,
Aku telah berdosa, terhadap jiwaku sendiri.

Maafkan aku jiwaku, maafkan aku.
Maafkan aku yang telah memadamkan pelitamu tanpa menyulutnya kembali.
Maafkan aku karena memilih untuk menjadi penonton di dalam kegelapan.

Maafkan aku jiwaku, maafkan aku.
Seharusnya aku bergirang di bawah hangatnya cahaya.
Seharusnya aku mengerti apa artinya cahaya.
Namun, dimana ada cahaya disitulah ada bayangan.
Aku terlalu takut akan bayangan yang mengikuti langkahku di dalam cahaya.
Kucoba membungkamnya di dalam kegelapan.
Membungkusmu di dalam kelam.
Kukira aku merasa damai dan aman.
Kukira.

Cukup.
Sudah cukup bagiku!
Aku berhak untuk bahagia!
Aku berhak untuk tertawa, walau langkahku pernah penuh dosa.
Tetapi, siapa yang tidak?!
Kelak dia, pergerakan semesta yang dapat menilainya.
Bukan aku, bukan juga mereka.

Maafkan aku jiwaku, maafkan aku.
Kucoba ciptakan gelak tawa untuk dunia, juga duniaku.
Tak sepatutnya aku membunuhmu, meskipun dunia membuatku jenuh.
Biarkan kusulut pelita itu sekali lagi, untuk dunia, dan duniaku.

Aku tidak mengusir diriku dari dalam kegelapan, tidak.
Aku hanya belajar untuk mencintai cahaya.
Untuk hidupku dan hidupmu.
Untuk kebahagiaanku dan kebahagiaanmu.


12 MAY 2005, 5.00 PM