KOTAK VIRTUAL
Kusedengkan kepalaku sekali lagi, mengangguk-angguk pelan mencoba untuk mengerti.
Kotak virtual itu masih tetancap disana.
Dengan gagahnya ia mencoba meyakinkan aku bahwa dialah duniaku, impianku, dan segala bentuk hasratku.
Aku berkelahi dengannya, dia terkikik.
Aku bersahabat dengannya, dia meracuniku.
Aku mengabaikan dia, tapi tak bisa.
Berfondasikan rasa ingin tahu yang begitu kuat: tik – tok, mataku lekat dengannya untuk satu harian.
Berfondasikan bauran perasaan yang begitu kuat: tik – tok, beberapa saat telah lewat.
Sepertinya aku telah mendengar ayam berkokok lebih dari 4 kali.
Berfondasikan rasa percaya diri yang bergitu kuat: tik – tok, aku terselip masuk.
Aku adalah (menjadi) virtual, demikan juga ia.
Kupertaruhkan hidupku untuk sesuatu yang begitu asing,
yang terkecap oleh tubuh namun jauh di hati.
Aku tukar kedamaianku untuk sesuatu yang bising,
yang tertuai rasa hampa dan membuat jantungku sesekali terhenti.
Dia tidak menyeretku, melainkan aku.
Dia tidak meracuniku, melainkan aku.
Dia tidak meyakinkanku, melainkan aku.
Dia tidak membodohiku, melainkan aku.
Dia bukan siapa – siapa, aku...siapa – siapa...
Dengan gagahnya ia mencoba meyakinkan aku bahwa dialah duniaku, impianku, dan segala bentuk hasratku.
Bukan! Bukan dia yang meyakinkanku, melainkan aku!
Kotak virtual... kambing hitamku.